Patriarki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi serta mendominasi dalam aspek politik, otoritas sosial, dan penguasaan properti. Patriarki tampaknya kini menjadi suatu budaya yang agak sulit untuk dihilangkan. Pendidikan yang dangkal serta pemikiran yang kurang terbuka dari kalangan masyarakat menjadikan sistem patriarki ini membudaya dan seakan melekat pada sebagian besar masyarakat Indonesia. Budaya patriarki semakin di anggap umum dan dijadikan suatu kewajaran. Terlebih lagi dikalangan masyarakat yang masih masif terhadap pendidikan serta sosialisasi terkait patriarki. Hal yang demikian akan semakin memojokkan perempuan dan berdampak pada banyaknya deskriminasi terhadap perempuan.

Derajat perempuan yang seakan dianggap lebih rendah dari laki-laki yang kemudian mengakibatkan ketimpangan gender. Dimana perempuan selalu memiliki posisi dibawah laki-laki dalam aspek apapun. Di dalam budaya jawa, terdapat suatu perspektif yang mahsyur dikalangan masyarakatnya, yang mana tugas perempuan hanya tiga, yakni macak, manak, masak (berdandan, melahirkan, memasak). Hal tersebut dapat menggiring opini bahwa pendidikan tidak sebegitu penting bagi perempuan. Padahal baik perempuan maupun laki-laki sekalipun, memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan. Memperoleh pendidikan yang layak adalah hak semua manusia tidak peduli jenis kelamin yang di sandang oleh manusia yang bersangkutan. Perspektif yang menyatakan bahwa setinggi tingginya pendidikan perempuan, akhirnya juga pasti akan terjun ke dapur. Adalah perspektif yang umum dijangkit oleh masyarakat kalangan desa. Dimana masyarakaat desa masih jauh ldari pendidikan yang layak yang mengakibatkan pola pikir yang dangkal padahal jika ditelaah, perempuan juga memiliki peran penting dalam peradaban serta perwujudan umat yang berkualitas dan berintelektual. Perempuan dan laki-laki sejatinya harus memiliki hak dan kesempatan yang sama dalam hal pendidikan, politik, kepemimpinan, serta aspek sosial lainnya.

Namun nyatanya, realita lapangan menunjukkan hal yang bertentangan. Dimana deskriminasi kaum perempuan dalam hal pekerjaan serta jumlah upah masih sering terjadi. Itu juga termasuk contoh dari sistem budaya patriarki yang penerapannya masih sering dilakukan sadar atau tidak sadar. Perspektif laki-laki adalah pemilik kekuatan terbesar serta tokoh pengambil keputusan terkuat menjadikan budaya ini masih belum mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan terutama perempuan. Perempuan yang selalu dianggap kaum lemah semakin terpojokkan dengan berbagai tindakan-tindakan deskriminasi.

Mari kita ambil suatu contoh diterapkannya budaya patriarki ini. Misalkan saja dalam suatu rumah tangga, tentu terdapat suami, istri, dan anak (jika ada). Dari susunan anggota keluarga dalam rumah tangga tersebut, jelas yang menjadi imam atau pemimpin dalam keluarga adalah si suami (dalam hal ini laki-laki). Konsep pemimpin disini sering disalah artkan oleh kalangan-kalangan tertentu, yang menganggap jika pemimpin = penguasa dalam rumah tangga, itu artinya semua keputusan serta kekuasaan dalam rumah tangga berada dibawahnya (laki-laki). Lalu bagaimana dengan istri (perempuan)? Istri (perempuan) adalah seorang yang wajib melayani suami, menyiapkan segala kebutuhanya, memberikan hak suami, melakukan pekerjan rumah tangga, serta pekerjaan lain yang di identikkan dengan gender perempuan.

Lantas, apakah hal demikian bisa dibenarkan? Apakah islam sejauh ini memperbolehkan praktik patriarki? Baik, disini mari kita bedah satu persatu. Dalam Al-Quran srat An-Nisa ayat 34, yang memiliki arti “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) kaena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.”, ternyata masih banyak yang salah megartikan, dimana laki-laki dapat menindas kaum perempuan dan menjadikannya kaum kelas dua. Padahal makna sebenarnya tidak demikian. Pemimpin dalam hal ini maksudnya ialah pelindung keluarga dari semua jenis kejahatan, serta perlindungan lain yang termasuk didalamnya nafkah, pakaian, juga tempat tinggal. Rasulullah telah memberikan contoh yang mulia mengenai konsep memuliakan perempuan dalam rumah tangga.. Yang mana beliau juga melakukan pekerajaan rumah tangga (membantu pekerjaan rumah tangga), mejahit bajunya, memerah susu kambing, dan melakukan aktifitas keagamaan layaknya manusia pada umumnya. Maka dapat disimpulkan bahwasannya budaya patriarki tidak dapat dibenarkan dan islam sendiri telah menyeru pada manusia untuk senantiasa memuliakan perempuan, bahkan Rasulullah sendiri adalah tauladannya.

Disinilah peran perspektif perempuan mengenai pemenuhan hak yang sama betul-betul diperlukan. Perempuan harus menyuarakan hak-hak nya agar tidak selalu mendapat penindasan moril dan materiil. Perempuan harus berpendidikan agar harga diri serta derajatnya tidak dijatuhkan. Dizaman sekarang, dunia bukan lagi hanya tentang laki-laki pemilik kekuasaan tertinggi. Perempuan dengan segala kemampuannya wajib mendapatkan hak yang sama kecuali dalam aspek-aspek yang memang tidak dapat disejajarkan antara perempuan dan laki-laki. Diluar itu, tidak ada kaum yang lebih unggul. Semua boleh memiliki kesempatan sama rata serta tidak tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Dengan begitu, dunia dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Ditulis oleh : Immawati Erdila Yuni Safitri

Editor By : Medkom PK IMM Ahmad Dahlan Lamongan